Bencong? Waria? Kedua kata tersebut sudah tidak asing lagi di telinga kita kan?. Malah banyak cowo-cowo Indonesia yang takutnya bukan main sama waria. Baru denger gemericik alat music yang sering dimainin waria aja udah lari terbirit-birit hahahah cowo-cowo juga takut banget dicolek-colek apalagi digodain ama si waria. Kebanyakan temen cowo yang gue kenal punya pengalaman buruk dengan waria. Fenomena waria memang sudah tidak asing lagi di Indonesia. Waria sangat mudah ditemukan. Banyak waria berdiri dengan dress gemilau, berdandan cantik dipinggiran jalan yang minim pencahayaan ataupun di lampu merah sedang mengamen dan bergoyang layaknya penyanyi dangdut dengan pakaian seksinya dan kotak musik sederhana.
Selain itu, waria masih
menjadi sebuah persoalan di negeri ini mengingat kita sebagai mahluk beragama
hanya mengenal dua jenis kelamin saja, yaitu perempuan dan wanita. Gak jarang
waria-waria ini diintimidasi dengan ucapan-ucapan yang menyakitkan hatinya dan
mendapatkan perlakuan yang tidak layak. Yapp! Karena itulah waria-waria itu pun
membentuk sebuah komunitas dimana mereka dapat saling menerima kondisinya
masing-masing.
Di dalam kehidupan
sehari-hari kita cuma liat waria yang body-nya aduhai sampe-sampe body gue aja
kalah saing ama waria terus mukanya masing kenceng-kenceng. Nah, gimana dengan
waria lansia? Apa kita sering bertemu dengan waria-waria yang sudah tua? Yang
tidak lagi memiliki wajah eksotis,
kemampuan fisiknya berkurang dan sudah tidak bisa lagi mencari makan
dengan tubuhnya. Kali ini gue akan lebih bercerita tentang waria yang sudah tua
dan komunitas waria Indonesia (FKWI).
Sebenenya juga ini adalah sebagaian kecil dari hasil skripsi S-1 Psikologi
kemarin tentang “Psychological Well-being pada Waria Lansia yang tinggal di
Panti Werdha Khusus Waria”.


![]() |

Oya, kita pasti sering ya nemuin waria yang ngamen dan ternyata dia abis ngamen ngelepas baju dan jadi laki-laki beneran bahkan punya anak coyyy!!! Nah itu namanya bukan waria ya guys. Itu namanya BANCI KALENG!! Banci kaleng itu adalah laki-laki normal yang menjadikan waria sebagai profesinya sedangkan waria adalah seseorang yang benar-benar beperilaku seperti wanita karena dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti faktor herediter, faktor lingkungan, pengalaman hubungan homoseks, faktor traumatis Ibu dan faktor traumatis hubungan heteroseks. Nah kebanyakan waria yang gue wawancarai memiliki faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang menjadi waria.
Hmmmm… Yaah memang jenis kelamin cuma ada dua yaitu perempuan dan laki-laki. Gak ada tuh yang namanya setengah-tengah. Tapi mau gimana lagi ya? Tiga responden yang gue wawancara pernah memeriksakan hormon yang ada di dalam dirinya dan ternyata semua responden gue memiliki hormon wanita yang lebih banyak dibandingkan hormon laki-lakinya. Walaupun demikian menurut hasil observasi gue, ketiga responden gue dapat bersosialisasi dengan baik dan memiliki perilaku yang baik dan tidak mengancam peradaban manusia. Mereka baik-baik kok. Waktu gue kesana gue sempet dibuatin makanan dan gue dilayani banget deh. Gilaaaa… seneng banget gue… hahahhaha.. karena skripsi gue tentang waria lansia, makanya gue sering bolak-baik Depok buat wawancara. Nah! disitu gue kenal sama mami Yuli, Oma Yoti, Oma Hengki, Oma

Dan jangan salah benyak waria-waria yang gue temuin itu berpendidikan tinggi loh kaya S-1 dan kaya mami Yuli sedang menempuh pendidikan S-2nya di bidang hokum. Si Mami bener-bener ingin memperjuangkan haknya dan teman-temannya sebagai waria. Karena waria juga manusia dan mereka sebenarnya sama sekali tidak menginginkan dirinya menjadi waria. Yang penting yuk kita hidup saling menghargai dan menghormati menuju dunia yang lebih tentram dan damai.
No comments :
Post a Comment
Write what do you think about that :)